Day 27 #30DaysWritingChallenge

 Someone Who Inspires Me


Salah satu tugas cowok yang mesti dikerjakan dengan penuh keikhlasan adalah antar-jemput ceweknya. Soal ini jangan berani-beraninya lu tawar. Jangan pokoknya. Tapi siapa sangka, berkat mengantar cewek gue ke suatu tempat, gue bisa bertemu sosok yang sangat menginspirasi gue saat pertama kali bertemu dengannya. Beliau adalah seorang maestro kaligrafi Al-Qur’an, Didin Sirojuddin.

Mungkin nggak banyak orang yang kenal namanya. Wajar aja, karena beliau bergelut di bidang seni, kaligrafi tepatnya. Menjadi seniman di negara ini, kalau bukan dengan orang yang punya minat yang sama, akan sulit untuk dikenal oleh khalayak umum. Sementara bagi para pecinta seni kaligrafi, gue ragu kalau nggak ada yang pernah mendengar namanya. Sosok teladan dalam dunia seni kaligrafi Al-Qur’an di Indonesia.

Kenapa gue bisa bertemu dan mengenal beliau? Begini ceritanya.

Pada semester akhir perkuliahan, tugas akhir cewek gue selain membuat skripsi, dia juga diharuskan membuat sebuah media. Kebetulan dia anak DKV. Jadi media yang dia pilih sebagai tugas akhirnya adalah buku ilustrasi, dan objeknya adalah Didin Sirojuddin. Buku ilustrasi tersebut bertujuan untuk memperkenalkan sang maestro kaligrafi yang nggak banyak dikenal oleh masyarakat umum.

Cewek gue bisa kenal dengan beliau, sebab cewek gue merupakan salah satu alumni santri di pesantren kaligrafi Al-Qur’an yang didirikan oleh Didin Sirojuddin. Pesantren Kaligrafi Al-Qur’an  Lemka di Sukabumi, Jawa Barat. Sebelum kuliah, dia memutuskan untuk menekuni seni kaligrafi selama setahun. Karena kekagumannya dengan beliau, dia tertarik untuk mengangkat kisah hidup beliau menjadi sebuah buku ilustrasi.

Seperti yang udah gue bilang di awal, salah satu tugas gue sebagai cowoknya adalah menemani dia bertemu dengan Didin Sirojuddin. Untuk bisa mendapatkan informasi mengenai perjalanan hidup sang maestro kaligrafi, tentu ada beberapa cara yang harus dilakukan. Salah satunya adalah melakukan wawancara langsung dengan narasumber.

Singkat cerita, gue dan cewek gue menemui beliau di sela-sela kesibukannya sebagai juri lomba kaligrafi Al-Qur’an tingkat kabupaten di Jakarta Selatan. Sebagai cowok yang baik, tugas gue bukan hanya menemaninya bertemu dengan beliau, tetapi gue juga harus membantunya mewawancarai beliau. Gue cukup bisa diandalkan dalam urusan begini.

Sebetulnya gue udah mendengar banyak cerita tentang sosok Didin Sirojuddin ini dari cewek gue. Dari sepotong ceritanya aja udah membuat gue mengaguminya. Beliau adalah sosok yang sangat rendah hati, punya visi misi yang amat besar, dan sangat menginspirasi. Berkat kerendahan hatinya, kami bisa dengan mudah meminta waktunya untuk melakukan wawancara. Tanpa perlu pengajuan resmi dan tanpa syarat yang rumit-rumit, layaknya bertemu dengan orang-orang penting pada umumnya. Bayangkan, untuk bisa menemui beliau, cewek gue cukup dengan mengirim pesan langsung lewat WhatsApp. Gue sendiri nggak menyangka, bisa punya kesempatan mewawancarai beliau dengan cara semudah itu.

Saat gue bertemu langsung dengan beliau, sosoknya amat nampak teduh dan bijaksana. Beliau menjumpai kami dengan tangan terbuka. Kehangatannya mencairkan suasana hati gue yang sempat gugup mewawancarai sosok sepenting beliau. Impresi pertama gue tentang beliau sangat baik, terlebih lagi buat gue yang bukan dari bidang yang sama.

Satu kejadian yang sangat menginspirasi gue adalah pada saat gue dan cewek gue tengah sibuk mempersiapkan alat-alat untuk merekam proses wawancara, seperti kamera dan voice recorder. Beliau dengan sabar menunggu kami sembari menggoreskan handam (pena khas kaligrafi tradisional yang terbuat dari sejenis tumbuhan paku), membentuk huruf-huruf hijaiyah di selembar kertas putih polos. Sebagai seorang yang hobi nulis, gue bisa merasakan besarnya kecintaan beliau terhadap seni kaligrafi. Waktu kosongnya selalu diisi dengan melukis ayat-ayat Al-Qur’an.

Tindakannya mengajarkan gue untuk mencintai apa yang gue senangi, yakni menulis. Sejujurnya di hadapannya, gue merasa malu karena di umur beliau yang terbilang jauh dari kata muda, beliau nggak pernah berhenti mengasah kemampuannya dalam menciptakan sebuah karya seni. Sedangkan gue, terkadang masih suka mageran mengerjakan hal yang bahkan gue sukai. Mau nulis aja harus nunggu mood bagus dulu.

Dalam setiap tindakannya, seolah beliau sedang memberi nasihat kepada gue untuk terus menekuni bidang yang gue kuasai. Mengerjakan apa yang gue sukai, seakan hari ini adalah hari terakhir gue menulis. Lebih baik lagi kalau tulisan-tulisan gue bisa bermanfaat bagi orang lain. Dan saat waktunya telah tiba, ketika embusan napas terkakhir berada di ujung mulut, karya-karya tulis gue bisa dikenang dan menjadi amalan buat gue di dunia yang kekal nantinya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan #23: Sulit Melupakan (Cerpen)

Ramadhan #20: Orang Asing

2 Tak (Tuyul Sekolah)