Ramadhan #20: Orang Asing
Sabtu, 28 Agustus 2021.
Sekitar pukul 17.30 WIB, sepulangnya gue cukur rambut, gue
melihat keponakan gue sedang bersandar di balik pintu rumah. Walaupun gue cuma
melihat kaki mungilnya dari balik pintu yang sedikit terbuka, tapi gua bisa tau
kalo pemilik sepasang kaki kecil itu ialah keponakan gue. Mendengar suara motor
gue yang nggak asing lagi di telinganya, keponakan gue langsung ngintip dari
balik pintu untuk melihat siapa yang datang. Begitu dia ngeliat gue turun dari motor,
dia cuma bengong.
Saat gue memberi salam, keponakan gue masih bengong.
Mungkin karena gue masih pake masker, dia jadi nggak ngenalin gue. Karena gue
tau keadaan gue emang lagi agak dekil. Gue langsung buru-buru cuci tangan, lalu
melepas masker yang gue pakai. Tapi, setelah gue lepas masker, dia masih
bengong ngeliatin gue.
Nggak biasanya dia kalo ngeliat gue pulang cuma bengong.
Lepas masker udah. Lepas jaket juga udah. Mungkin dia terpesona
ngeliat ketampanan gue sehabis cukur rambut. Atau mungkin dia emang lagi pengin
ngajak gue main tatap-tatapan. Yang kalah, traktir mie ayam.
Selang beberapa detik dia bengong ngeliatin gue,
tiba-tiba keponakan gue duduk di lantai, terus bersujud. Gue masih berpikir
positif. Mungkin dia lagi pengin pamer ke gue, kalo dia udah ngerti gerakan salat.
Tapi semua di luar dugaan gue, dia malah nangis sejadi-jadinya sambil sujud.
Gue bener-bener nggak paham dengan apa yang terjadi dengan keponakan gue.
Seharusnya sih, gue nggak perlu heran. Soalnya keponakan
gue tingkahnya agak absurd. Tiba-tiba nangis. Tiba-tiba ceria. Bahkan terkadang,
dia suka heboh sendiri.
Mendengar ada yang nangis, Kakak gue (Ibunya keponakan
gue), datang menghampiri anaknya, lalu nanya ke gue, "Jafar kenapa?"
"Lah, kagak tau gue," jawab gue. "Tiba-tiba
aja nangis. Lagi akting kali dia. Kan dia raja drama di rumah ini."
Kakak gue langsung menggendong anaknya. "Apa kejedot
lantai?" tanya Kakak gue, memastikan. Keponakan gue emang suka ngejedotin
kepalanya sendiri ke lantai. Gue tau kalo yang namanya anak kecil, rasa
penasarannya tinggi banget. Tapi ya, nggak ngadu kepala sama lantai juga kali.
"Nggak. Orang nggak kenapa-napa. Emang kelakuannya
aja aneh." Gue mencoba godain keponakan gue yang lagi nangis. Biasanya dia
ketawa, tapi ini nangisnya malah makin jadi.
Habis itu, karena nangisnya udah nggak terkendali, Kakak
gue membawa anaknya ke dalam kamar. Padahal rencananya, Kakak gue ingin memandikannya.
Mungkin di dalam kamar, dia pengin nenen dulu. Jadi kalo nangisnya udah
berhenti, baru habis itu dimandiin.
Yaudahlah,
gue aja yang mandi duluan, pikir
gue.
Berhubung adzan maghrib telah berkumandang, usai mandi,
gue langsung salat di kamar ortu gue.
Usai salat, saat gue sedang berdzikir, gue mendengar suara
keponakan gue keluar dari kamar. Samar-samar, gue juga mendengar suara langkah
kaki mungilnya. Suaranya semakin mendekat ke arah kamar ortu gue.
Karena memang kamar ortu gue cuma ditutupi hordeng, dari
bawah sela-sela hordeng, gue melihat sepasang kaki bayi berhenti di depan kamar.
Salah satu kebiasaan uniknya, keponakan gue suka mengintip kamar ortu gue dari
bawah celah hordeng. Dan begitu dia melihat ada gue di dalam kamar, matanya
terbelalak seakan sedang melihat hantu.
Masih penasaran dengan apa yang barusan dia lihat,
keponakan gue langsung berdiri, lalu membuka hordengnya dengan sekuat tenaganya.
Gue pikir, rasa takutnya benar-benar akan hilang, setelah dia bisa melihat gue
dengan jelas. Nggak taunya, dia malah nangis histeris.
Lagi-lagi, setelah mendengar suara rengekkan bayi,
seketika Kakak gue muncul dan langsung menggendong anaknya. Sebagai seorang ibu,
tentu dia agak panik ketika melihat anaknya nangis maghrib-maghrib. Kakak gue bertanya
kepada anaknya, "Kenapa, Nak? Kamu kejedot? Kenapa kamu nangis?"
Jeda beberapa saat, keponakan gue mengangkat tangan
kanannya, menunjuk ke arah gue.
Paham dengan apa yang dimaksud anaknya, Kakak gue bertanya
lagi ke anaknya, "Iya, itu Om Dody. Kenapa sama Om Dody?"
Ada hening yang diisi dengan isak tangis keponakan gue
selama beberapa saat.
Gue pun berdiri lalu berjalan menghampiri keponakan gue
yang masih menangis. Gue bilang, "Jafar, ini Ody (singkatan dari Om Dody).
Kok, kamu nangis setiap ngeliat Om." Mungkin dia pangling melihat gue
dengan potongan rambut baru. Jadi dia mengira kalo gue orang asing.
Kakak gue juga berusaha meyakinkan anaknya, "Nak,
ini Om Dody. Masa nggak kenal sih, sama Om Dody. Cuma potongan rambutnya aja
yang beda."
Bukannya sadar, dia malah tambah nangis.
Kakak gue segera menenangkan anaknya. Menggendongnya
bulak-balik, dan mengusap-usap punggungnya. Tapi keponakan gue masih nggak mau
berhenti nangis.
Kakak gue tertawa, lalu bertanya ke gue, "Lu
ketempelan apaan, sih?" Wajar Kakak gue bertanya seperti itu. Yang namanya
anak kecil, terkadang dia bisa aja ngeliat “sesuatu” yang nggak terlihat oleh
orang dewasa.
"Pala lu ketempelan," kata gue sewot. "Gue
udah mandi sama salat, masa bisa ketempelan?"
"Ya, siapa tau," balasnya, kalem.
Gue mulai bertanya kepada diri gue sendiri. Masa iya gue ketempelen? Perasaan selain
cukur rambut, gue nggak pergi ke mana-mana lagi. Gue juga tadi nggak ngelewatin
kuburan. Aneh.
Gue yang nggak mau ambil pusing, merasa ada untungnya jika
keponakan gue takut ngeliat penampilan baru gue. Gue nggak perlu jagain dia
lagi. Nggak perlu ngajak dia bercanda. Seenggaknya sampe rambut gue tumbuh
kembali, dia nggak bisa mengganggu gue untuk sementara waktu.
Tangisan keponakan gue yang nggak kunjung berhenti,
membuat perut gue terasa lapar. Jadi sehabis merapikan perlengkapan salat, gue
memutuskan untuk beli ketoprak.
Ajaibnya, sepulangnya dari beli ketoprak, keponakan gue
nggak takut lagi melihat gue. Dia bertingkah seperti bayi yang baru bisa jalan
pada umumnya, seolah nggak terjadi apa-apa. Gue heran. Kakak gue juga heran.
Sedangkan keponakan gue, sedang asyik berlari ke sana-ke mari sambil berteriak
heboh.
Gue jadi berpikir, sebenarnya... gue atau keponakan gue sih, yang habis ketempelan?
Wkwkwk gemes
BalasHapus