Ramadhan #26: Bercermin

 

Sumber foto: pexels.com

Tiap kali gue melakukan sebuah kesalahan, atau ada orang yang berbuat kesalahan kepada gue, gue suka berdiri di depan cermin untuk berdiskusi dengan bayangan gue sendiri. Mulai dari berbagi cerita random, merenungkan kesalahan-kesalahan apa aja yang telah gue lakukan terhadap orang lain, dan mempertanyakan apakah orang lain juga melakukan hal yang sama seperti yang gue lakukan (bercermin), saat mereka berbuat kesalahan terhadap gue.

Bagi sebagian orang, mungkin cara yang gue lakukan agak terdengar gila. Namun, berbicara sendiri cukup bisa membuat perasaan gue lebih tenang.

Kenapa, ya, teman-teman gue pada kebelet kawin? Kuliahnya aja belum selesai. Gimana bisa masuk ke jenjang yang lebih serius lagi (pernikahan), kalo salah satu tanggungjawabnya aja belum dituntaskan.

Kenapa, ya, ada aja orang yang suka pamer kesedihan di media sosial. Tapi giliran dikasih nasihat, gue malah dibilang, “Sok tau lu.” Terus untuk apa lu menjelaskan panjang-lebar masalah lu di media sosial, kalo lu nggak membutuhkan pertolongan dari orang lain. Atau jangan-jangan, lu cuma pengin cari atensi doang? Hmmm.

Kenapa, ya, kalo ada teman yang cerita masalahnya ke gue, terus pas dikasih solusi, gue malah dibilang bukan pendengar yang baik? Sedangkan ketika gue mencoba diam dan menjadi pendengar yang baik, gue malah dianggap nggak bisa jadi problem solving untuknya. Terus ketika gue memberitahu apa kesalahannya (karena memang faktanya dia yang salah), gue malah dibilang toxic-lah, menghakimilah, judging-lah. Mau lu apa, sih, sebenarnya?

Kenapa, ya, orang kalo lagi patah hati, mendadak jadi sok bijak? Pas masih punya pacar, sok-sokan jadi motivator masalah percintaan, seolah dia yang paling mengerti soal cinta. Tapi giliran putus dari pacarnya, malah jadi penceramah di media sosial dengan membagikan potongan-potongan kecil kajian dari Ustadz favoritnya, tentang: Hukum Berpacaran dan Tanda-Tanda Jodoh.

Kenapa, ya, setiap kali gue berkata jujur, ada aja orang yang sakit hati dengan ucapan gue? Padahal gue cuma ingin mereka sadar atas kesalahannya. Gue tau berbohong demi kebaikan itu kadang diperlukan, tapi mau sampe kapan gue membohonginya. Dan mau sampe kapan gue membiarkannya merasa nyaman dengan kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.

Gimana, ya, caranya bisa pede joget-joget di TikTok?

Gimana, ya, caranya masukin backsound di Instastory?

Gimana, ya, caranya naikin tinggi badan?

Gimana, ya, caranya membujuk cewek yang lagi ngambek cuma gara-gara lupa sama janji?

Apa, ya, penyebab bulu hidung gue terus menerus tumbuh lebat dan panjang?

Apa, ya, penyebab kerontokan rambut sejak dini?

Kok, Emak gue namain gue Dody, ya? Kenapa nggak Al-Debaran?

Kok, sekarang gue gemukan, ya?

Kok, sekarang gue sering dipanggil bapak setiap kali isi bensin?

Udahlah, gue nggak mau mikir lebih banyak lagi. Kelamaan berdiri di depan cermin sambil ngomong sendiri, kayaknya bisa bikin gue gila beneran. Mending gue tidur aja, deh. Besok juga lupa sama pertanyaan-pertanyaan gue tadi.

Bye.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan #23: Sulit Melupakan (Cerpen)

Ramadhan #20: Orang Asing

2 Tak (Tuyul Sekolah)