Ramadhan #26: Bercermin
Tiap kali gue melakukan sebuah kesalahan, atau ada orang
yang berbuat kesalahan kepada gue, gue suka berdiri di depan cermin untuk
berdiskusi dengan bayangan gue sendiri. Mulai dari berbagi cerita random, merenungkan kesalahan-kesalahan
apa aja yang telah gue lakukan terhadap orang lain, dan mempertanyakan apakah
orang lain juga melakukan hal yang sama seperti yang gue lakukan (bercermin),
saat mereka berbuat kesalahan terhadap gue.
Bagi sebagian orang, mungkin cara yang gue lakukan agak
terdengar gila. Namun, berbicara sendiri cukup bisa membuat perasaan gue lebih
tenang.
Kenapa,
ya, teman-teman gue pada kebelet kawin? Kuliahnya aja belum selesai. Gimana bisa
masuk ke jenjang yang lebih serius lagi (pernikahan), kalo salah satu tanggungjawabnya
aja belum dituntaskan.
Kenapa,
ya, ada aja orang yang suka pamer kesedihan di media sosial. Tapi giliran dikasih
nasihat, gue malah dibilang, “Sok tau lu.” Terus untuk apa lu menjelaskan
panjang-lebar masalah lu di media sosial, kalo lu nggak membutuhkan pertolongan
dari orang lain. Atau jangan-jangan, lu cuma pengin cari atensi doang? Hmmm.
Kenapa,
ya, kalo ada teman yang cerita masalahnya ke gue, terus pas dikasih solusi, gue
malah dibilang bukan pendengar yang baik? Sedangkan ketika gue mencoba diam dan
menjadi pendengar yang baik, gue malah dianggap nggak bisa jadi problem solving
untuknya. Terus ketika gue memberitahu apa kesalahannya (karena memang faktanya
dia yang salah), gue malah dibilang toxic-lah, menghakimilah, judging-lah. Mau lu
apa, sih, sebenarnya?
Kenapa,
ya, orang kalo lagi patah hati, mendadak jadi sok bijak? Pas masih punya pacar,
sok-sokan jadi motivator masalah percintaan, seolah dia yang paling mengerti
soal cinta. Tapi giliran putus dari pacarnya, malah jadi penceramah di media
sosial dengan membagikan potongan-potongan kecil kajian dari Ustadz favoritnya,
tentang: Hukum Berpacaran dan Tanda-Tanda Jodoh.
Kenapa,
ya, setiap kali gue berkata jujur, ada aja orang yang sakit hati dengan ucapan
gue? Padahal gue cuma ingin mereka sadar atas kesalahannya. Gue tau berbohong
demi kebaikan itu kadang diperlukan, tapi mau sampe kapan gue membohonginya. Dan
mau sampe kapan gue membiarkannya merasa nyaman dengan kesalahan-kesalahan yang
ia perbuat.
Gimana,
ya, caranya bisa pede joget-joget di TikTok?
Gimana,
ya, caranya masukin backsound di Instastory?
Gimana,
ya, caranya naikin tinggi badan?
Gimana,
ya, caranya membujuk cewek yang lagi ngambek cuma gara-gara lupa sama janji?
Apa,
ya, penyebab bulu hidung gue terus menerus tumbuh lebat dan panjang?
Apa,
ya, penyebab kerontokan rambut sejak dini?
Kok,
Emak gue namain gue Dody, ya? Kenapa nggak Al-Debaran?
Kok,
sekarang gue gemukan, ya?
Kok,
sekarang gue sering dipanggil bapak setiap kali isi bensin?
Udahlah, gue nggak mau mikir lebih banyak lagi. Kelamaan
berdiri di depan cermin sambil ngomong sendiri, kayaknya bisa bikin gue gila
beneran. Mending gue tidur aja, deh. Besok juga lupa sama pertanyaan-pertanyaan
gue tadi.
Bye.
Komentar
Posting Komentar