Ramadhan #22: Satu Kesempatan Lagi (Cerpen)
Seandainya aku tahu hal ini akan terjadi, aku pasti tidak
akan pernah mengkhianatimu. Menduakanmu adalah keputusan paling naif yang
pernah kupilih. Sampai pada akhirnya aku merasakan penyesalan. Dan rasanya
sungguh tak teratasi.
Kalau saja aku bisa mengulang waktu, aku pasti akan memperbaikinya.
Aku tidak akan memilih jalan yang menyesatkan. Aku tidak akan memilih jalan menuju
nafsu. Aku tidak akan memilih jalan yang hanya akan membuatku merasa kurang, hingga
sulit membuatku merasa bersyukur.
Setidaknya, apakah kamu bersedia memberikanku satu kesempatan
lagi? Aku janji tidak akan pernah menyia-nyiakannya lagi. Janjiku kali ini,
bukan hanya sekadar gombalan atau bujuk rayu agar kamu memaafkanku. Kamu boleh
memarahiku, menghajarku, bahkan berkata kotor kepadaku. Selama itu bisa
membuatmu memaafkanku, aku siap menerimanya.
Aku bersungguh-sungguh.
Aku tidak akan jatuh pada pilihan yang salah lagi.
Aku ingin kita kembali bersama.
Namun sepertinya, amarahmu masih meluap-luap. Terlihat
jelas dari matamu. Mata yang menandakan kekecewaan. Yang membuatku tertunduk
jika menatapnya.
Embusan napasmu malam itu, masih teringat jelas di kepalaku.
Kamu hanya memberiku sebuah kotak hitam, berisi jam tangan yang selama ini aku
idam-idamkan. Lalu kamu hanya berkata, “Ini hadiah yang belum sempat aku kasih
ke kamu, sebelum hari paling menyakitkan itu terjadi.”
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutmu. Setelah itu...
kamu pergi.
Entah reaksi seperti apa yang harus aku gambarkan di
wajahku. Senang? Ya, aku senang menerima jam tangan ini darimu. Sedih? Ya, itu
juga. Karena walaupun jam tangan ini kauberikan, aku sama sekali tidak
merasakan adanya kesempatan.
Meski kuputar balik jarum jam ini ke arah yang
berlawanan, semua hal yang kuharapkan darimu; kesempatan, belas kasihan, dan
maaf darimu...
tidak akan pernah kuterima lagi.
Komentar
Posting Komentar