Ramadhan #15: Petasan

 

Sumber foto: pexels.com

Setiap kali bulan ramadhan, ada banyak kasus kebakaran yang disebabkan oleh petasan. Akhir-akhir ini pun entah udah berupa rumah yang jadi korbannya. Pertanyaan gue, kok bisa? Kok bisa main petasan sampe kebakaran? Perasaan dulu gue main petasan, nggak pernah sampe kebakaran. Aman-aman aja. Yang terparah palingan cuma meledak di tangan. Itupun nggak sampe kebakar. Ya, melepuh sedikit it’s oke lah.

Sebagai alumni pemain petasan, gue telah menganalisis beberapa faktor penyebab kebakaran yang dikarenakan petasan. Analisis ini hanya merupakan hasil pengamatan dan perkiraan gue aja. Nggak serius-serius amat, kok. Santai. Kalo mau serius, lu tanya aja sama pemadam kebakaran. Cekidot.

Kurangnya pengetahuan

Kalo dilihat dari perspektif yang cenderung netral, kemungkinan pertama yang menyebabkan kebakaran adalah kurangnya pengetahuan bocil-bocil tentang bahayanya petasan, dan benda-benda apa aja yang mudah terbakar. Gampangnya, ini hanyalah hasil dari ketidaksengajaan bocil-bocil yang awalnya cuma berniat senang-senang, atau cuma sekadar iseng.

Tapi masa iya, dari sekian banyak anak-anak yang main petasan, pengetahuannya kurang semua. Alias masa iya, semuanya goblok. Umur rata-rata anak yang bermain petasan itu, sekitar enam sampe tiga belas tahun. Artinya, rata-rata anak yang bermain petasan merupakan anak-anak berpendidikan. Jadi nggak mungkin kalo semua bocil-bocil itu nggak tau apa bahayanya petasan, dan benda-benda apa aja yang mudah terbakar.

Kurang tersedianya lahan bermain

Tersedianya lahan bermain anak-anak, seperti lapangan atau taman, seharusnya bisa menjadi win-win solution untuk mengurangi kasus kebakaran yang disebabkan oleh kelalaian anak-anak itu sendiri. Karena nggak adanya lahan bermain, kemungkinan besar anak-anak jadi bingung mau main petasan di mana. Jadi pada akhirnya, mereka memutuskan untuk bermain petasan di depan rumah atau gang-gang.

Penyebab minimnya lahan bermain untuk anak-anak, tentu aja disebabkan oleh infrastuktur yang nggak terstruktur. Nggak bisa ngeliat ada lahan kosong sedikit, langsung dibikin kontrakan, perumahan, ruko, dan lain sebagainya. Lingkungan tempat tinggal yang semakin padat, rapat, tentu membuat anak-anak nggak punya pilihan lain selain bermain di dekat pemukiman masyarakat.

Itulah mengapa, lahan bermain untuk anak-anak sangatlah penting. Seenggaknya sediakanlah mereka tempat bermain yang cukup jauh dari pemukiman warga. Gue percaya hal ini bisa jadi solusi yang efektif untuk mengurangi kasus kebakaran yang disebabkan oleh petasan.

Emang bocil-bocilnya aja yang tengil

Hal ini menjadi faktor terakhir yang menurut gue paling krusial. Entah kenapa, gue ngerasa anak-anak zaman sekarang banyak yang susah diatur. Mau dibilangin berapa kalipun, masuk kuping kanan, keluar kuping temannya.

Pernah gue sekali bilangin anak-anak di kampung gue untuk nggak main petasan di depan rumah. Eh, responnya di luar dugaan gue. Mereka malah mengacungkan jari tengahnya ke arah gue. Seolah-olah nasihat gue nggak ada artinya bagi mereka. Niatnya gue yang pengin bikin mereka diam, taunya malah sebaliknya.

Giliran gue laporin ke orangtuanya, malah gue yang diceramahin, “Udah sih Mas, namanya juga anak-anak. Kayak nggak pernah jadi anak-anak aja.” Gue yang diomelin. Dari situ akhirnya gue tau, kalo ternyata sifat keras kepalanya, emang nurun dari orangtuanya.

Udah, gitu aja.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan #23: Sulit Melupakan (Cerpen)

Ramadhan #20: Orang Asing

2 Tak (Tuyul Sekolah)