2 Tak (Tuyul Sekolah)

 

Jadi ceritanya, gue lagi iseng-iseng lihat foto-foto lama gue di Google Foto. Dari situ, gue nggak sengaja nemuin foto lama gue pas masih SMA. Tepatnya, foto pas gue botak untuk pertama kalinya, dan mungkin untuk terakhir kalinya. Kecuali nanti kalo udah lansia, dan udah mengalami kebotakan. It’s oke, lah. Nah, di postingan kali ini, gue mau nyeritain latar belakang kenapa gue bisa botak, dampak yang terjadi setelah gue botak, dan pelajaran apa yang bisa gue ambil dari pengalaman botak gue saat itu. Karena menurut gue, pengalaman ini lumayan seru kalo gue ceritain di Blog. Semoga.

Semua ini bermula ketika gue masih duduk di kelas dua SMA. Kalo nggak salah sekitar tahun 2014, awal semester satu. Angkatan Paskibra tahun 2013, yang mana itu adalah angkatan gue sendiri, diamanahkan untuk mewakili SMA gue buat berpartisipasi dalam lomba LKBB (Lomba Keterampilan Baris Berbaris) di SMA Negeri 3 Depok. H-1 lomba, senior Paskib gue memerintahkan angkatan gue yang cowok-cowok buat cukur rambut ala-ala Tentara gitu, deh. Karena kerapihan dan kekompakan pasukan, masuk ke dalam penilaian lomba. Jadi harus rapi. Nggak boleh gondrong, apalagi brewokan.  

Malemnya, gue dan keempat angkatan gue (tiga cowok, dan satu cewek), main samper-samperan buat minta izin ke orang tua masing-masing, supaya diizinin nginep di rumah angkatan gue yang satu lagi. Dengan tujuan, agar bisa sama-sama berangkat menuju lokasi perlombaan. Abis main samper-samperan, kami berempat nyari tukang cukur di daerah rumah gue. Dan dapetlah tukang cukur Asgar yang kebetulan lagi sepi pengunjung. Terus, karena kedua temen gue yang cowok nggak ada yang mau cukur duluan, jadi gue dengan sangat terpaksa dijadiin kelinci percobaan untuk mencoba gaya rambut baru.

Lalu gue bilang ke Abang-abang tukang cukurnya, buat nyukur rambut gue dengan model potongan 1 2 1. Maksudnya, samping kiri 1 cm, atasnya 2 cm, dan samping kanannya 1 cm. Pas di tengah-tengah cukur, sebenernya perasaan gue udah mulai nggak enak dengan hasil cukuran Abang-abangnya. Tapi ya, udahlah. Mungkin itu cuma perasaan gue doang. Dan ternyata, perasaan nggak enak di dalem hati gue, beneran terjadi. Bayangan gue mah, jadinya bakal kayak Tentara baru. Tapi ternyata, jadinya malah kayak Ronaldo Wati. Sialan!

Karena gue nggak siap untuk tampil dengan model rambut kayak begitu, jadi gue bilang ke Abang-abang tukang cukurnya buat dibotakin aja. Lebih baik gue botak, daripada nantinya gue dibilang mirip Raju, anaknya Paman Muthu. Lagipula, kalo gue botak, itu artinya kedua angkatan gue juga harus botak. Dan jadilah kita bertiga botak. Aman.

Sepulangnya dari tukang cukur, kami berempat langsung bergegas menuju tempat menginap. Kalian yang baca ini, pasti tau apa yang akan terjadi setelahnya. Ya, tepat sekali. Alhasil, kami bertiga jadi bahan ceng-cengan di angkatan gue yang udah lebih dulu sampe di tempat menginap. Tapi kami bertiga nggak masalah, mau dikatain kayak gimana pun. Karena otomatis, mereka juga akan botak. Kenapa bisa gitu? Soalnya, kami yang udah terlanjur botak, nggak mungkin bisa manjangin rambut dalam semalam. Tapi yang rambutnya masih panjang, pasti bisa jadi botak dalam waktu semalam. Wkwkwk. Itulah enaknya jadi anak Paskibra. Satu dihukum, semua dihukum. Satu botak, semua juga harus botak.

Keesokan paginya, sebelum berangkat ke tempat lomba. Karena nggak mungkin ada tempat cukur yang udah buka, jadi gue memutuskan untuk jadi tukang cukur dadakan. Ngebotakin doang mah, gampang, begitu pikir gue. Dan orang pertama yang bersedia jadi kelinci percobaan gue adalah Janwar. Ini orangnya:



Hasilnya nggak pernah gue sangka-sangka. Gue nggak pernah sebangga itu. Gue berhasil…. Berhasil bikin Pitak kepala temen gue. Dan angkatan gue yang lain, jadi nggak mau dicukur sama gue. Gapapa.

Singkat cerita, kami pun berangkat ke tempat perlombaan dilaksanakan. Lombanya dimulai sekitar jam 9 pagi, tapi kami semua udah dateng jam 7 pagi. Sebelum apel pagi, gue sama angkatan gue yang masih punya rambut, nyari tukang cukur di deket tempat lokasi lomba. Lalu ketemulah tempat cukur yang udah setengah buka. Maksud gue setengah buka di sini adalah: Sebenernya masih tutup dan Abang-abangnya juga masih tidur, tapi rolling door-nya udah kebuka setengah. Jadi kami bangunin aja Abang-abangnya, buat ngebotakin angkatan gue yang masih berambut. Lumayanlah, pagi-pagi Abang-abangnya udah dapet rezeki. Walaupun salah satu dari kami ada yang nggak bayar. Dan jadilah kami seperti ini:



Setelah kami semua botak, kayaknya keberuntungan mulai datang menghampiri kami. Performa kami saat baris-berbaris, memperoleh hasil yang memuaskan bagi kami. Syukurlah, kami berhasil memenangkan perlombaan. Ya, walaupun cuma juara harapan, tapi pialanya cukup besar untuk dipamerin ke orang-orang. Untung aja kami pulang bawa piala. Coba kalo kami nggak menang? Udah botak. Nggak menang lagi. Mungkin gue bakal dipukulin rame-rame sama angkatan gue. Karena gue lah, yang memulai semua kebotakan ini.

***

Cerita pengalaman gue botak, nggak cuma sampe di situ. Kami semua anak Paskibra, khususnya yang cowok-cowok, jadi bahan ceng-cengan di Sekolah. Bahkan nggak cuma satu sekolah.  Satu yayasan pada ngecengin kami semua. Ada yang ngatain kami Shaolin lah, Avatar lah, bocah Kanker lah, dan bahkan ada yang memandang kami sebagai sekumpulan Tuyul berseragam yang sedang mencari nafkah di sekolah. Saking parahnya pembullyan terhadap kami di sekolah, kalo mereka gue laporin ke Kak Seto, satu sekolah bisa dimasukin ke penjara anak.

Dari semua bullyan yang barusan gue sebutin, masih ada yang jauh lebih parah lagi. Bahkan sampe sekarang gue masih inget betul kejadian itu. Jadi gue pernah pulang sekolah sendirian. Kebetulan emang lagi nggak ada kesibukan aja di sekolah. Nah, nggak jauh dari SMA gue, ada sekumpulan Abang-abang yang lagi nongkrong di deket tukang Pempek. Pas gue lewat depan tongkrongan itu, ada satu Abang-abang yang tiba-tiba nyeletuk. Dan dia bilang, kepala botak gue mirip kayak Pentil. Pertanyaan terbesar gue saat itu adalah: emangnya kepala gue keluar susu apa? Gue sih, nggak marah mau dikatain kayak gimana juga. Masalahnya, kalo dia bisa ngebayangin kepala gue mirip kayak Pentil, gue takutnya, dia jadi punya keingingan buat ngisep kepala gue. Gara-gara itu, sepanjang jalan pulang, gue jadi megangin kepala gue terus, buat mastiin kepala gue beneran keluar susu atau nggak.

Hampir dua minggu, gue dan angkatan Paskibra gue, jadi bahan bulan-bulanan di sekolah. Tapi semakin hari, kami udah mulai terbiasa dengan kepala botak kami dan terbiasa jadi bahan bullyan sehari-hari. Lalu, tiba pada suatu hari, di mana populasi siswa yang kepalanya botak jadi semakin banyak. Khususnya anak-anak kelas tiga.

Gue sampe sekarang masih penasaran, kenapa anak kelas tiga saat itu, banyak yang pada botak kayak gue dan angkatan Paskbra gue. Gue pikir mah, alasan mereka jadi pada botak gara-gara kalah taruhan bola. Tapi masa iya, kalah taruhan kok, botaknya rame-rame. Setau gue biasanya, kalo orang yang botak karena kalah taruhan itu, paling cuma satu atau dua orang aja. Lah ini, banyak banget.

Bahkan pernah sampe ada kejadian, anak-anak kelas tiga yang pada botak, rame-rame keliling satu sekolah dengan percaya dirinya. Terus ngajakin gue dan angkatan Paskibra gue, yang nggak tau apa-apa, buat ikut bergabung dengan mereka mengelilingi satu sekolah. War biasa emang.

Namun dari pengalaman gue itu, gue jadi belajar banyak hal. Pembelajaran yang melahirkan sebuah prinsip yang gue pegang hingga saat ini. Prinsip yang ngajarin gue buat stop jadi followers. Stop ngikutin gaya hidup orang lain. Stop ngikutin kemauan orang lain. Melainkan, gue harus jadi Trendsetter. Membuat trend sendiri. Biar orang lain lah, yang ngikutin gue.

Tengkyou

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan #23: Sulit Melupakan (Cerpen)

Ramadhan #20: Orang Asing